Masalahpenelitian ini adalah telaah terhadap 10 (sepuluh) Puisi WS.Rendra (Sajak Sebatang Lisong, Makna Sebuah Titipan, Sajak Pertemuan Mahasiswa, Surat Cinta, Sajak Orang Lapar, Sajak Hai, Kamu!, Sajak Rumpun Alang-alang, Sajak Kupanggil Namamu, Sajak Rajawali, dan Sajak Tuhan Aku Cinta Padamu) Tujuan penelitian ini adalah untuk 3 Melalui puisi "Sajak Sebatang Lisong", W.S. Rendra mengungkapkan kritikan tentang kehidupan nyata di masyarakat. Namun, dari bait-bait tersebut, W.S. Rendra juga mengungkapkan solusi berupa sikap/tindakan yang sebaiknya dilakukan. Bait-bait yang berisi solusi tersebut terdapat di bait ke Pentaskelas ini merupakan penyelasaian tugas akhir mata kuliah Apresiasi Drama Indonesia yang menampilkan tiga drama yakni Selamat Malam Duhai Kekasih, Sang kutilang, dan Sajak Sebatang Lisong. Selain drama, pentasi ini juga dilengkapi musikalisasi puisi dan pentas akustik. Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. UNSUR BATIN Kemanusiaan, karenadalam puisi diatas penyair mencerikan tentang kehidupan atau kondisi dari rakyat indonesia pada saat itu, mengenai kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakatnya, serta ketidakadilan yang di alami oleh orang-orang lemah atau rakyat-rakyat miskin. suka bersenang-senang diatas penderitaan orang lain. suka bertindak sewenang-wenang terhadap orang yang lemah, hanya karena kita memiliki jabatan atau kedudukan yang tinggi. jadi manusia yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. manusia kita harus saling membantu, bekerjasama dalam menyelesaikan suatu masalah. manusia kitaharus berani mengeluarkan pendapat, untuk menentang segala bentuk ketidakadilan yang terjadi disekitar kita. menyindir pada kalimat dan aku melihat sarjana – sarjana menganggur, berpeluh dijalan raya Nada kritik pada kalimat aku melihat protes-protes yang terpendam Nada menasehati pada kalimat apakah artinyakesenian, bila terpisah dari derita lingkungan Nada tegas pada kalimat kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing Perasaan memberontak pada kalimat dan aku melihat delapan jutakanak – kanak, tanpa pendidikan sedih, kecewa UNSUR FISIK Citraan penglihatan contohnya pada kalimat melihat Indonesia raya Citraan Pendengaran contohnya pada kalimat mendengar 130 jutarakyat Citraan Gerak contohnya pada kalimat keluar ke desa – desa Citraan Taktil contohnya pada kalimat bunga bunga bangsa tahun depan Menghisap sebatang lisongmajas metonimia Tanpa dangau persinggahanmajas personifikasi Terhimpit di bawah tilam majas personifikasi Langit pesta warna di dalam senjakalamajas personifikasi Termangu – mangu di kaki dewi kesenian majas Metafora Bunga – bunga bangsa tahun depanmajas personifikasi Berkunang – kunang pandang matanyamajas metafora Di bawahi klan berlampu neon majas personifikasi Menjadi gemalau suara yang kacaumajas personifikasi Menjadikarang di bawahmukasamudramajas personifikasi Aku melihat sarjana – sarjana menganggur, berpeluh di jalan rayamajas hiperbola Aku melihat wanita bunting, antri uang pensiunanmajas hiperbola 5 bait 64 baris Menggunakkan bentuk tipografi umum DAFTAR PUSTAKA . SajakSebatangLisong . 2009 .Tanggal 7Agustus Citraan, Diksi, dan Amanat dalam Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya Rendra Puisi karya Rendra yang berjudul Sajak Sebatang Lisong ini menggunakan diksi yang tepat. Pilihan kata yang digunakan penyair untuk menggambarkan suasana hatinya cukup menarik dan dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Seperti parafrase dalam puisi Sajak Sebatang Lisong yang telah disampaikan sebelumnya, penggunaan diksi yang seperti itu sangat tepat sekali jika dikaitkan dengan latar historis puisi tersebut. Dikatakan tepat karena puisi yang ditulis dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi ini secara terang-terangan memperlihatkan kritik sosial. Oleh karena itulah penggunaan diksi tersebut sangat tepat karena diharapkan maksud penyair yang berisi sindiran/kritikan tersebut tersampaikkan dan dapat dengan mudah dicerna oleh pendengar, yaitu masyarakat, kalangan pendidik, seniman, dan pemerintah Indonesia. Pendekatan analitis digunakan manakala suatu puisi memiliki nilai dan persepsi tersendiri dalam setiap kata dalam puisinya. Walaupun penyair menggunakan diksi yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan dapat dengan mudah dipahami, namun memiliki makna yang sangat mendalam dan dapat mewakili perasaan/ isi hati penyair. Dalam potongan puisinya tersebut ia mengajak kalangan pendidikan untuk berhenti membeli rumus-rumus asing, yaitu sesuatu yang tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia dan yang benar ialah untuk menyelesaikan persoalan yang ada hendaknya terjun langsung mencari solusinya dengan menyesuaikan keadaan yang nyata. Citraan imagery yang terdapat dalam puisi Sajak Sebatang Lisong ini menggunakan 1 citra penglihatan visual imagery, 2 citra pendengaran auditory imagery, 3 citra perabaan tactile imagery, 4 citra penciuman olfactory imagery, 5 citra gerak, dan 6 citra perasaan. Gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan dalam puisi yang pernah dibacakan Rendra di Institut Teknologi Bandung, pada tanggal 17 Agustus 1977 ini adalah pleonasme. Pradopo 198795 menjelaskan pleonasme keterangan berulang ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Sarana retorika yang terdapat dalam puisi ini dapat dibuktikan pada bait kedua, yakni //matahari terbit / fajar tiba//. Dalam hal ini penyair mengulang frasa matahari terbit dengan fajar tiba yang merupakan dua hal berbeda, namun sebenarnya sama. Frasa fajar tiba sudah tersimpul dalam frasa matahari terbit. Pengulangan yang seperti ini sengaja dibuat oleh penyair untuk memberikan kejelasan pada pembaca. Selanjutnya pada bait ketiga, penyair menggunakan gaya bahasa personifikasi, yaitu menghidupkan benda yang mati. Pertanyaan yang pada hakikatnya adalah benda mati, diibaratkan hidup sehingga membentur meja kekuasaan yang macet. Dalam puisi ini juga dijumpai majas hiperbola, yaitu majas yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Dalam hal ini penyair ingin melebih-lebihkan, maksudnya untuk intensitas dan ekspresivitas. Dengan kata lain, penyair ingin memberikan mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan, dan perasaan secara berlebih. Dalam puisi tersebut maksudnya ialah delapan juta anak yang tidak mengenyam pendidikan pada masa itu masa depannya akan suram, mereka tidak mempunyai bekal hidup, sehingga tidak ada pilihan lain selain keterpurukan. Dalam hal ini penyair menggambarkannya dengan jalan panjang tanpa pilihan, tanpa pepohonan gersang’, tanpa dangau persinggahan, dan tanpa ada bayangan ujungnya. Rima yang digunakan penyair dalam puisi ini adalah rima patah, karena penyair tidak begitu memerhatikan struktur rimanya. Rima patah yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak mementu pada akhir larik-lrik puisi. Kombinasi bunyi vokal asonansi puisi tersebut menambah unsur keindahan tersendiri. Pada puisi ini terdapat kombinasi bunyi vokal /a/ dan /u/ yang dominan dalam larik, yaitu //tanpa dangau persinggahan / tanpa ada bayangan ujungnya// dan // menjadi gemalau suara yang kacau//. Selain itu juga terdapat bunyi sengau /n/, /m/, /ng/, yaitu seperti tampak pada potongan bait berikut yang dapat menimbulkan bunyi merdu dan berirama efoni. Dalam puisi yang ditulis pada tahun 1973 ini, juga banyak dijumpai lambang, yaitu pengganti suatu hal dengan hal lain. Misalnya pada bait pertama, yaitu //menghisap sebatang lisong// yang melambangkan menikmati gaya hidup mewah dengan menghisap sebatang lisong. Kemudian pada baris selanjutnya yaitu, //dua tiga cukong mengangkang berak di atas kepala mereka// yang melambangkan orang-orang kaya pemilik modal bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Kemudian pada bait ketiga, yaitu // tetapi pertanyaan – pertanyaanku/ membentur meja kekuasaan yang macet//. Pada potongan bait ini melambangkan bahwa pertanyaan penyair sia-sia. Hal ini dikarenakan penyair tidak bisa berkomunikasi dengan manusia yang bertanggung jawab. Penyair hanya menemui sosok benda mati yang itu semua merupakan abstraksi dari kenyataan yang digambarkan penyair dengan meja kekuasaan yang macet tidak diberikan kebebasan menyuarakan pendapatnya. Selanjutnya, hal ini dipertegas lagi pada baris selanjutnya, yaitu // dan papantulis – papantulis para pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan//. Potongan bait ini melambangkan dunia pendidikan khususnya guru. Pada bait keempat yaitu //delapan juta kanak – kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan/ tanpa pepohonan/ tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan ujungnya//. Potongan bait ini melambangkan anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan, masa depannya suram. Sedangkan pada bait kelima, yaitu //menghisap udara yang disemprot deodorant// melambangkan orang-orang kaya, yaitu deodorant dilambangkan sebagai tanda kemewahan kalangan tertentu yang bekasnya tercium di udara. Namun, hal ini juga dapat ditafsirkan sebagai polusi industri yang membuat keadaan alam terutama udara dipenuhi zat-zat berbahaya dari industri. Pada bait kedelapan baris pertama yaitu //gunung – gunung menjulang// melambangkan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Baris berikutnya yaitu //protes – protes yang terpendam/ terhimpit di bawah tilam// melambangkan ketidak berdayaan masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya dan akhirnya masyarakat memilih tidur daripada mendapat celaka. Hal ini dilambangkan dengan kata tilam yang bearti tempat tidur. Pada bait kesembilan baris kedua dan ketiga, yaitu //tetapi pertanyaanku/ membentur jidat penyair – penyair salon//. Hal ini melambangkan para sastrawan yang tidak peka terhadap keadaan sosial. Mereka hanya sibuk dengan sajak-sajak romantis yang dibuatnya, sehingga sastrawan-sastrawan tersebut dianggap penyair salon yaitu yang ditafsirkan sebagai penyair banci. Mereka hanya gemara berdandan retorika dengan kata “anggur dan rembulannya”. Tipografi puisi yang berjudul Sajak Sebatang Lisong ini adalah bentuk yang pada umumnya digunakan oleh penyair yaitu menggunakan rata kiri dan dimulai dengan huruf kecil semua, walaupun ditulis diawal kalimat. Oleh karena jumlah larik atau baris dalam puisi karya Rendra ini banyak, maka penyair juga menggunakan bait dalam puisinya. Puisi yang ditulis dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi ini bertemakan kritik sosial. Di tengah carut-marutnya negara Indonesia akan pendidikan, perekonomian, dan sistem birokrasi. Ia berbicara kritik sosial dengan menggunakan bahasa sastra yang sangat bagus dan mendalam jika ditelaah artinya. Sebagai seorang sastrawan ia merasa tergerak demi perubahan sosial, sehingga ia tak sungkan-sungkan untuk mengkritik ranah sosial dan politik dengan keahlian sastranya. Dalam sajaknya yang ditulis pada tahun 1973 inilah ia dengan lantang menyuarakan nasib anak-anak Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan dan sarjana-sarjana yang menganggur, berpeluh di jalan raya. Sementara itu para penguasa/orang-orang kaya sama sekali tidak memperhatikan hal tersebut. Mereka malah asik dengan harta dan kekuasaanya. Sistem birokrasi juga tidak luput dari kritiknya. Tampilnya militer dalam puncak pemerintahan memberikan dampak tersendiri di Indonesia. Selain militer, pemerintah orde baru juga mempergunakan teknokrat sebagai tulang punggung pengatur perekonomian pada awal pemerintahannya. Militer menyadari tidak semua tugas negara dapat diemban seorang diri apalagi mengatur keuangan, pembangunan, dan perekonomian negara. Dalam sejarah Indonesia, keterlibatan teknokrat dan angkatan darat dalam arena percaturan politik melahirkan rezim yang absolut Nurjaya, Tanpa tahun55. Selain itu Rendra juga mengkritik sastrawan-sastrawan dan teman-teman seperjuangannya di dunia sastra. Ia merasa prihatin terhadap sastrawan yang sama sekali tidak peka akan keadaan yang terjadi di negaranya. Rendra secara tegas mengkritik sastrawan-sastrawan pada masa itu, yang terus-menerus menghasilkan karya yang bermutu rendah dan erotisme. Padahal sebagai seorang intelektual dengan bahasa sebagai sarana perjuangan sosial, sastrawan seharusnya ikut andil menjadi motor penggerak. Amanat yang terkandung dalam puisi ini adalah penyair ingin menyampaikan sekaligus mengajak pada masyarakat untuk keluar dari keterpurukan, baik dalam persoalan sosial, pendidikan, ekonomi, dan birokrasi. Sudah saatnya Indonesia keluar dari persoalan akut dengan membangun kemandirian dan tidak lagi bersandar/ mengandalkan pada kekuatan asing. - Rendra atau yang dikenal dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra merupakan seorang penyair ternama di Indonesia. Beberapa karyanya yang terkenal adalah puisi, cerpen cerita pendek, hingga skenario drama. Dalam dunia sastra, Rendra sangat berjasa dalam pengembangan sastra. Karya-karyanya tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, melainkan juga di luar negeri. Salah satu contoh karya sastranya yang cukup terkenal adalah Puisi Sajak Sebatang dari buku Kumpulan Esai Apresiasi Puisi 2018 karya Indra Intisa, berikut isi puisi Sajak Sebatang Lisong, karya Rendra Menghisap sebatang lisongmelihat Indonesia Raya,mendengar 130 juta rakyat,dan di langitdua tiga cukong mengangkang,berak di atas kepala mereka Matahari aku melihat delapan juta kanak-kanaktanpa juga Puisi Sapardi Djoko Damono Aku bertanya,tetapi pertanyaan-pertanyaankumembentur meja kekuasaan yang macet,dan papantulis-papantulis para pendidikyang terlepas dari persoalan kehidupan. Delapan juta kanak-kanakmenghadapi satu jalan panjang,tanpa pilihan,tanpa pepohonan,tanpa dangau persinggahan,tanpa ada bayangan ujungnya. Menghisap udarayang disemprot deodorant,aku melihat sarjana-sarjana menganggurberpeluh di jalan raya;aku melihat wanita buntingantri uang pensiun. Dan di langit;para tekhnokrat berkata bahwa bangsa kita adalah malas,bahwa bangsa mesti dibangunmesti di-up-gradedisesuaikan dengan teknologi yang diimpor

makna puisi sajak sebatang lisong